Hubungi Kami : 0814 1350 4543

URGENSI PENCATATAN PERNIKAHAN

(Antara Fiqh dan Hukum Positif)

Negara Indonesia Di Era globalisasi 4.0 ini, banyak mengalami permasalahan yang tergolong kontemporer, dan memerlukan pembahasan yang serius untuk mengentaskannya, salah satu bentuk permaslahan tersebut dalam bidang pernikahan, yaitu pernikahan sirri atau nikah yang tidak tercatat,

Hal ini timbul pada umumnya akibat pemahaman yang melenceng dalam masyarakat, karena hanya memahami aspek fikih saja, tanpa melihat aspek kepentingan pemerintah, padahal masyarakat Indonesia hidup berdampingan dalam kesaharian, dan negara juga mengambil andil dalam mengatur kehidupan dan ketentraman masyarakatnya, oleh sebab itu mementingkan aturan fiqih tanpa mengimbangi dengan aturan pemerintah maka akan menjadi kesalahan yang sangat fatal. Hal yang demikian terjadi dalam ranah Pencatatan pernikahan.

Pencatatan pernikahan kerap sekali diabaikan oleh mereka yang menganggap pernikahan tetap sah hukum nya jika memenuhi aspek fiqihnya saja. Ini adalah kekeliruan yang sangat mendasar, karena apabila dikaji lebih mendalam, tujuan dari pencatatan pernikahan adalah untuk menjaga hak-hak individu dari pihak suami dan isteri dalam rumah tangga, apabila dikemudian hari salah satu dari mereka mengabaikan hak dan kewajibannya dalam menjalankan hubungan dalam rumah tangga.

Apabila terjadi perbuatan menyimpang seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) maka salah satu pihak dapat melaporkannya kepada pihak yang berwajib, atau salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban dalam rumah tangga maka pihak yang dirugikan baik dari suami atau isteri berhak untuk menuntut haknya ke pengadilan, akan tetapi hal ini tidak dapat di proses oleh pengadilan apabila pernikahan tersebut dilakukan secara sirri atau tidak tercatat oleh pihak KUA, karena buku nikah menjadi akta otentik dan syarat prosedural untuk memasukkan gugatan kepengadilan.

Berdasarkan hal di atas, maka tampak sebuah kejanggalan yang membuka peluang untuk terjadinya sebuah kemudharatan dalam rumah tangga, maka perlu di ingat lagi sebuah Kaidah Fikih yaitu:

درء المفاسد مقدم عن جلب المصالح

Artinya: “Menolak Kerusakan lebih diutamakan dari pada mecari kemaslahatan”

Kaidah ini menjadi salah satu dasar dan prinsip dari pencatatan pernikahan, dan ini telah sering dibahas oleh kaum akademisi. Di sini yang menjadi titik beratnya yaitu oknum yang tidak bertanggung jawab dalam menikahkan dua orang secara tidak resmi. Oknum yang berani membuka praktek pernikahan sirri inilah yang seharusnya diberantas oleh pemerintah agar tidak ada lagi orang yang melaksanakan pernikahan sirri.

Melihat asal usul mengapa oknum tersebut berani menikahkan orang-orang secara sirri yaitu karena dahulunya mereka adalah salah satu bagian dari KUA yang menjabat sebagai P3N (Pembantu  Pegawai Pencatat Nikahan), Akan tetapi Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) tersebut telah dihapuskan dengan keluarnya Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Dj.II/I Tahun 2015 dalam Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan halaman 624.

Meskipun aturan ini telah di keluarkan, Oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut masih tetap menikahkan orang yang akan menikah melalui proses pernikahan sirri. Terkait hal demikian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk. Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 3 ayat (1) dan (2) menyatakan:

Pasal 1

  • Yang berhak melakukan pengawasan atas nikah dan menerima pemberitahuan tentang talak dan  rujuk, hanya pegawai yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya.

Pasal 3

  • Barang siapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 50.000 (Lima Puluh Ribu Rupiah).
  • Barang siapa yang menjalankan pekerjaan tersebut pada ayat (2) Pasal 1 dengan tidak ada haknya, dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100.000 (Seratus Ribu Rupiah).

Pada mulanya aturan di atas berlaku bagi daerah Jawa dan Madura, akan tetapi dengan keluarnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang penetapan berlakunya Undang-undang Republik Indonesia tanggal 21 November 1946 Nomor 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk, menjelaskan bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 yang dalam penjelasannya, diperuntukkan buat seluruh Indonesia.

Peraturan di atas menjadi dasar hukum untuk mengatur dan menertibkan oknum tidak resmi yang menikahkan orang secara sirri, akan tetapi sanksi dari peraturan di atas dirasa tidak relevan dengan kondisi saat sekarang ini, dan hal ini menjadi tugas bagi pemerintah yang berwenang untuk merevisi undang-undang ini, agar sanksinya dipertegas dan memiliki dampak hukum yang bisa membuat jera, karena Peraturan yang Jelas tanpa Sanksi yang Tegas adalah Angan-angan, dan Sanksi yang Tegas tanpa Peraturan yang Jelas adalah Kesewenangan

Hal yang demikian sudah semestinya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, dan para akademisi, karena bidang hukum pernikahan Islam di Indonesia mengalami kemunduran di bidang hukum dan sanksinya, adapun penyebabnya yaitu para akademisi sibuk dengan “aktifitas sehingga tidak mementingkan intelektulitas”. Kata-kata tersebut penulis kutip dari Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud ketika mengikuti perkuliahan International di Pesona City Square Depok.

error: Content is protected !!