Hubungi Kami : 0814 1350 4543

APA SALAHNYA HERMENEUTIKA?

Dr Syamsuddin Arif

Direktur Eksekutif INSISTS & Dosen UNIDA Gontor

Akhir-akhir ini gerakan ‘impor pemikiran’ semakin gencar dilakukan, terutama oleh kalangan yang menggeluti Islamic Studies di perguruan tinggi kita di Tanah Air. Sayangnya, tidak banyak yang ‘teliti sebelum membeli’. Banyak yang tidak menyadari bahwa gagasan-gagasan asing itu sebenarnya bertentangan dengan  dan  bahkan  berpotensi menggerogoti sendi-sendi akidah seorang Muslim. Salah satu contohnya adalah “hermeneutika”, yang telah dimasukkan dalam kurikulum UIN Yogyakarta dan terus dipasarkan dalam berbagai seminar nasional (seperti pernah digelar pada 2004 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dengan tema “Hermeneutika al-Qur’an: Pergulatan  tentang  Penafsiran  Kitab  Suci”.  Konon  tujuannya  untuk  mencari  dan merumuskan sebuah ‘hermeneutika al-Qur’an’ yang relevan bagi konteks umat Islam di era globalisasi ini.

Terlanjur gandrung pada segala hal yang baru dan Barat (everything new and Western), sejumlah cendekiawan Muslim menganggap seolah-olah hermeneutika itu bebas-nilai alias netral. Bagi mereka, hermeneutika dapat memperkaya dan dijadikan alternatif  pengganti  metode  tafsir  tradisional  yang  dituduh  ‘ahistoris’  (mengabaikan historisitas teks) dan dicap tidak kritis (uncritical). Pada hakikatnya, merekalah yang taking for granted, yakni asal terima dan asal telan. Kalangan ini kurang peka bahwa hermeneutika sesungguhnya sarat dengan presuposisi dan implikasi teologis, filosofis, epistemologis dan metodologis. Seperti juga cabang-cabang ilmu lainnya, hermeneutika tidak muncul ex nihilo di ruang hampa. Hermeneutika timbul dari dan dalam konteks pemikiran agama dan pengalaman sejarah kaum Yahudi dan Kristen.

1.  Istilah dan Sejarah

Secara etimologi, istilah “hermeneutics” berasal dari bahasa Yunani kuno (Greek) “τα tρµενευτικα (baca: ta hermeneutika), yaitu bentuk jamak dari kata τα tρµενευτικον (to hermeneutikon)”  yang  artinya  ‘perkara-perkara  yang  berkenaan  dengan  pemahaman atau penerjemahan  suatu pesan  (dari  kata  kerja  infinitif: tρµενεύειν)’.  Kedua  kata  ini merupakan derivat dari kata “Hermes” (Eρµεr), yang dalam mitologi Yunani dikatakan sebagai dewa yang diutus oleh Zeus (Tuhan) untuk menyampaikan pesan dan berita kepada manusia di bumi. The Catholic Encyclopedia (New York, 1910) dan , s.v. “Hermeneutics”.

Dalam kumpulan karya logika Aristoteles ada sebuah bagian yang berjudul Περi Eρµηνείαr (baca: Peri Hermeneias). Yang dimaksud dengan kata “hermeneias” di sini ialah ungkapan atau pernyataan (statement), tidak lebih dari itu. Bahkan para teolog Kristen abad pertengahan pun lebih sering menggunakan istilah ‘interpretatio’ untuk tafsir, bukan ‘hermeneusis’. Ambil sebagai contoh karya St. Jerome yang diberi judul “De optimo genere interpretandi” (Tentang Bentuk Penafsiran yang Terbaik). Kemudian Isidore dari Pelusium menulis risalah dengan judul “De interpretatione divinae scripturae” (Tentang Penafsiran Kitab Suci).

Maka menurut para ahli pembakuan istilah ‘hermeneutics’ sebagai suatu ilmu, metode dan teknik memahami  suatu pesan, karya  atau teks, sesungguhnya baru terjadi   di kemudian hari, yakni pada sekitar abad ke-18 Masehi. Dalam pengertian modern ini, istilah hermeneutics biasanya dikontraskan dengan exegesis (dari bahasa Yunani kuno εξεγησιr), sebagaimana ‘ilmu tafsir’ dibedakan dengan ‘tafsir’. Untuk ulasan umum silakan lihat Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique (London: Routledge & Kegan Paul, 1980); Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston, Illinois: Northwestern University Press, 1969); Gayle L. Ormiston dan Alan D. Schrift (eds.). The Hermeneutic Tradition. From Ast to Ricoeur (New York: SUNY Press, 1990) atau Jean Grondin Sources of Hermeneutics. SUNY Series in Contemporary Continental Philosphy. (Albany: State University of New York Press, 1995)

Adalah Schleiermacher, seorang teolog asal Jerman, yang konon pertama kali memperluas wilayah hermeneutika dari sebatas teknik penafsiran kitab suci (biblische Hermeneutik)  menjadi  ‘hermeneutika  umum’  (generale  Hermeneutik)  yang  mengkaji kondisi-kondisi atau prasyarat apa saja yang memungkinkan terwujudnya pemahaman  atau penafsiran yang betul atas suatu teks. Gagasan-gagasannya tertuang dalam Friedrich Schleiermacher, Kritische Gesamtausgabe (Berlin: Walter de Gruyter, 1984) dan Friedrich Schleiermacher, Hermeneutik und Kritik. Mit einem Anhang sprachphilo- sophischer Texte Schleiermachers, ed. Manfred Frank (Frankfurt am Main, 1977).

Schleiermacher bukan hanya meneruskan usaha pendahulunya semisal Semler dan Ernesti yang berupaya “membebaskan tafsir dari dogma”. Johann Salomo Semler, Vorbereitung zur theologischen Hermeneutik, zu weiterer Beförderung des Fleisses angehender Gottesgelerten (Halle, 1760) dan Johann August Ernesti, Institutio Interpretis Novi Testamenti, ed. Christoph Friedrich von Ammon (Halle, 1809; pertama kali terbit 1761). Cf. Manfred Frank, Das individuelle Allgemeine: Textstrukturierung und -interpretation nach Schleiermacher (Frankfurt am Main: Surkamp, 1977)

Schleiermacher mengajukan perlunya kita melakukan desakralisasi teks. Dalam perspektif hermeneutika umum, “semua teks harus diperlakukan sama,” tidak ada yang perlu diistimewakan, tak peduli apakah itu kitab  suci  (Bible) ataupun  teks  hasil karangan manusia biasa.

Kemudian  muncul  Dilthey  yang  menekankan  gagasan  ‘historisitas  teks’  dan pentingnya  suatu ‘kesadaran  sejarah’  (Geschichtliches  Bewusstsein).  Seorang  pembaca teks, menurut pemikir asal Jerman ini, harus bersikap kritis terhadap  teks  beserta  konteks sejarahnya, meskipun pada saat yang sama dituntut untuk berusaha melompati ‘jarak  sejarah’  antara  masa-lalu  teks  dan  dirinya.  Pemahaman  kita  akan  suatu  teks, ujarnya,  ditentukan  oleh  kemampuan  kita  ‘mengalami  kembali’  (Nacherleben)  dan menghayati isi teks tersebut. Lihat Wilhelm Dilthey, “Die Entstehung der Hermeneutik,” dalam Gesammelte Schriften (Göttingen, 1957), 7: 317-331 dan “Der Aufbau der geschichtlichen Welt in den Geisteswissenschaften,” juga dalam Gesammelte Schriften, edisi ke-5 (Göttingen: Vanderhoeck & Ruprecht, 1968), 7: 213-217. Bandingkan dengan Arne Homann, “Verstehen und Menschheit. Zu einem Motiv der Philosophie Diltheys,” dalam jurnal Dilthey- Jahrbuch  10 (1996) 13-37; art. “Bewußtsein,” dalam Historisches  Wörterbuch  der  Philosophie,  ed. J. Ritter (Darmstadt, 1971).

Di awal abad ke-20, hermeneutika menjadi sangat filosofis. Dikatakan bahwa interpretasi merupakan interaksi keberadaan kita dengan wahana sang  Wujud  (Sein) yang memanifestasikan dirinya melalui bahasa. Demikian ungkap Heidegger. Uraiannya dalam Martin Heidegger, Sein und Zeit (Tübingen: Max Niemeyer, 1993); cf. tulisan G. Figal (salah seorang   murid   Heidegger   yang   masih   hidup,   guru   besar   filsafat   di   universitas   Freiburg),   “Die hermeneutische Position Martin Heideggers,” dalam Hermeneutische Positionen. Schleiermacher – Dilthey – Heidegger – Gadamer, ed. H. Birus (Göttingen, 1982).

Yang tak terelakkan dalam interaksi tersebut adalah terjadinya ‘hermeneutic circle’, semacam lingkaran setan atau proses yang tiada awal maupun akhirnya antara teks, praduga- praduga, interpretasi, dan peninjauan kembali (revisi). Dalam nota kuliahnya pada 1923, Heidegger menegaskan bahwa hermeneutika itu bukan metode atau  teori  interpretasi teks, akan tetapi merupakan moda pemahaman dimana wujud (Dasein) sang penafsir sebagai subyek menjadi wujud obyek yang ditafsirkannya. Maka baginya, hermeneutika adalah moda penelitian ontologis, interpretif, dan refleksif sekaligus. Lihat Martin Heidegger, Ontology: The Hermeneutics of Facticity, trans. John van Buren (Bloomington: Indiana University Press, 1999).

Demikian pula rumusan Hans-George Gadamer, yang membayangkan interaksi pembaca dengan teks sebagai sebuah dialog atau dialektika soal-jawab, dimana cakrawala kedua-belah pihak melebur (Horizontverschmelzung), sehingga muncullah kesepakatan dan kesepahaman. Interaksi tersebut tidak boleh berhenti, tegas  Gadamer. Setiap  jawaban  adalah relatif  dan tentatif kebenarannya, senantiasa boleh dikritik dan ditolak. Hans-Georg Gadamer, Wahrheit und Methode: Grundzüge einer philosophischen Hermeneutik (Tübingen: Mohr, 1975), juga dalam H.-G. Gadamer, Gesammelte Werke (Tübingen: Mohr, 1986-1995); cf. Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, dengan kata pengantar oleh Gadamer, terj. Joel Weinsheimer (New Haven dan London: Yale University Press, 1994).

Jürgen Habermas pergi lebih jauh. Bagi tokoh terkemuka Frankfurt School ini, hermeneutika bertujuan membongkar motif-motif tersembunyi (hidden interests) yang melatarbelakangi lahirnya sebuah teks. Sebagai kritik ideologi, hermeneutika harus bisa mengungkapkan pelbagai manipulasi, dominasi, dan propaganda dibalik bahasa sebuah teks, segala sesuatu yang mungkin telah mendistorsi suatu pesan atau makna secara sistematis. Jürgen Habermas, “Der Universalitätanspruch der Hermeneutik,” dalam Hermeneutik und Ideologiekritik, ed. Karl-Otto Apel (Frankfurt/Main: Suhrkamp, 1971). Bandingkan dengan bukunya yang lain, Erkenntnis und Interesse (Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1973).

2.  Asumsi dan Implikasi

Dengan latar-belakang seperti itu, hermeneutika jelas tidak bebas-nilai. Ia mengandung sejumlah asumsi dan konsekuensi. Pertama, hermeneutika menganggap semua teks adalah sama, semuanya merupakan karya manusia. Asumsi ini lahir dari kekecewaan mereka terhadap Bible. Teks yang semula dianggap suci belakangan justru diragukan keasliannya. Campur-tangan manusia dalam Perjanjian Lama (Torah alias TANAKH) dan Perjanjian Baru (Gospels) ternyata didapati jauh lebih banyak ketimbang apa yang sebenarnya diwahyukan Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Isa as. Lihat misalnya dua buku David Norton, A History of the Bible as Literature, 2 jilid (Cambridge: Cambridge University Press, 1993) dan A Textual History of the King James Bible (Cambridge: Cambridge University Press, 2005) original textual form (“Ur-text”) or several pristine forms of the biblical books…The majority opinion holds that there once existed an Ur-text…Because of these problems, most of the existing critical editions of the OT are not eclectic but “diplomatic”; that is, they reproduce a particular form of the textus receptus (“received text”) of the OT as the base text, while recording divergent readings (or “variants”) from Hebrew and non-Hebrew sources in an accompanying critical appartus. In contrast, most modern translations of the OT are by nature eclectic: while adhering basically to the MT, they often replace some MT readings with parallel ones from the versions (mainly the Septuaginta) and the Qumran scrolls.” Demikian pula halnya dengan Perjanjian Baru, seperti dinyatakan oleh Professor Eldon Jay Epp dalam The Anchor Bible Dictionary (New York: Doubleday, 1992), 6:417,  s.v.  “Textual  Criticism  (NT)”:  “Changes  made  intentionally  by  scribes  as  they  copied  texts  were motivated, in virtually all cases, by a desire to improve the text or to correct it in accordance with what they believed to be its true reading. Purposefully destructive change, at least as perceived by thescribe, is unknown. Moreover, it is customary to say that a slavish scribe- and better still, one of only modest intelligence- is to be preferred to one who thinks for himself. It is the thinking scribe who is more likely to make intentional alterations in the text, inevitably in good faith and out of worthy motivations, including occasional changes made to introduce or promote a viewpoint not in the text being copied. As a class, intentional alterations are far fewer than accidental ones, yet they can excercise far more influence in the transmission process.”

Bila diterapkan pada al-Qur’an, hermeneutika otomatis menghendaki penolakan terhadap status al-Qur‘an sebagai Kalāmullah, mempertanyakan otentisitasnya, dan pada gilirannya menggugat kemutawatiran mushaf Utsmani.

Kedua, hermeneutika menganggap setiap teks sebagai ‘produk sejarah’— sebuah asumsi yang sangat tepat dalam kasus Bible, mengingat sejarahnya yang amat problematik. Sebagaimana diakui oleh Profesor Emanuel Tov, pakar sejarah Perjanjian Lama, dalam The Anchor Bible Dictionary, ed. David Noel Freedman (New York: Doubleday, 1992), 6:394, s.v. “Textual Criticism (OT)”: “At some point scholars have to form an opinion on the question of whether or not there once existed an (one)

Hal ini tidak berlaku untuk al-Qur’an, yang kebenarannya melintasi batas- batas ruang dan waktu (trans-historical) dan pesan-pesannya ditujukan kepada seluruh umat manusia (hudan li n-nās).

Selanjutnya, praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis, yakni selalu meragukan kebenaran dari manapun datangnya, dan terus terperangkap dalam apa yang diistilahkan sebagai ‘lingkaran hermeneutis’, dimana makna senantiasa berubah. Lebih lanjut mengenai konsep siklus hermeneutis ini lihat Jürgen Bolten, “Die hermeneutische Spirale. Überlegungen zu einer integrativen Literaturtheorie,” dalam jurnal Poetica 17 (1985), Heft 1/2, hlm. 355-371.

Sikap semacam ini hanya sesuai untuk Bibel, yang telah mengalami gonta-ganti bahasa (dari Hebrew dan Syriac ke Greek, lalu Latin) dan memuat banyak perubahan serta kesalahan redaksi (textual corruption and scribal errors).  Tetapi tidak untuk al-Qur’an yang jelas kesahihan proses transmisinya dari zaman ke zaman. Lihat penjelasannya dalam buku Muhammad Mustafa Azami, Sejarah Teks al-Quran: Dari Wahyu Sampai Kompilasi (Jakarta: Gema Insani Press, 2005).

Terakhir, hermeneutika menghendaki pelakunya untuk menganut relativisme epistemologis. Tidak ada penafsiran yang mutlak benar, semua tafsir relatif. Yang benar menurut seseorang boleh jadi salah menurut  orang  lain.  Kebenaran  dianggap  terikat dan bergantung pada konteks (zaman dan tempat) tertentu. Selain mengaburkan dan menolak kebenaran, faham ini juga akan melahirkan mufassir-mufassir gadungan dan pemikir-pemikir liar yang sesat lagi menyesatkan.

3.   ‘Demam’ Hermeneutika di Dunia Islam

Di kalangan pemikir Muslim kontemporer, ‘demam’ hermeneutika pertama kali muncul dalam tulisan-tulisan Fazlur Rahman yang mengemukakan teori ‘gerakan ganda’ (double movement)  untuk menafsirkan al-Qur’an. Menurut  sarjana asal Pakistan ini, ada dua langkah yang mesti dilakukan oleh seorang penafsir al-Qur’an, yaitu: pertama, meneliti makna ayat-ayat al-Qur’an secara keseluruhan beserta latar sejarahnya (to study the meaning of the Qur’an as a whole including its historical theater) demi memperoleh kaedah-kaedah umum sebagai asas untuk membangun kerangka  nilai yang  sistematis dan, kedua, menerapkan kerangka nilai dan kaedah-kaedah ini (to apply these principles and values to a new context in in the present). Fazlur Rahman mengakui teorinya ini “terinspirasi”oleh Hans-Georg Gadamer dan Emilio Betti. Lihat Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago: University of Chicago, 1982), 6-7 atau versi Indone- sianya: Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung; Pustaka, 1985), hlm. 9-10. Untuk uraian lanjut tentang pemikirannya ini, lihat Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman: a framework for interpreting the ethico-legal content of the  Qur’an,” dalam Modern  Muslim  Intellectuals  and  the  Qur’an,  ed.  Soha Taji- Farouki, (London: Oxford University Press, 2004), 37-65.

Sejumlah cendekiawan mengikuti jejaknya, antara lain Farid Esack dari Afrika Selatan yang juga mengusung relativisme teks. Di sini tak terkecuali teks al-Qur’an yang dianggapnya telah secara tradisional difungsikan sebagai ideologi yang melegitimasi ketidakadilan gender dan, karenanya, mesti ditafsirkan ulang agar bisa dijadikan motor pembebasan (Farid Esack, 2000: 35). Ia juga menganjurkan reinterpretasi dan redefinisi istilah-istilah kunci seperti iman, islam, kufr dan ahlul kitab agar tercipta pemahaman yang inklusif dan pluralistik. Lihat Farid Esack, Qur’an, Liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious. Solidarity against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997), terj. Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas (Bandung: Mizan, 2000).

Di Timur Tengah ada dua orang pemikir yang menganjurkan hermeneutika, yaitu Hasan Hanafi dan Nasr Hamid Abu Zayd. Yang disebut pertama menulis disertasinya

tentang  fenomenologi  penafsiran  sebagai  ‘hermeneutika  eksistensialis’.  Menurutnya, hermeneutika bukan sekadar membahas metode penafsiran (teknis) ataupun peristiwa penafsiran (filosofis), akan tetapi juga memperbincangkan dimensi sejarah teks dan kepentingan praktis dalam kehidupan. Proses mengetahui makna yang tepat dari sebuah teks mesti diikuti dengan proses aktualisasinya dalam kehidupan manusia. Ini karena, menurutnya, tujuan utama sebuah teks wahyu adalah untuk mengubah kehidupan manusia itu sendiri. Hasan Hanafi, “Hermeneutics as Axiomatics: An Islamic Case”, dalam Religious Dialogue and Revolution: Essays on Judaism, Christianity, & Islam (Cairo: The Anglo-Egyptian Bookshop, 1977), hlm. 1-2.

Secara khusus, Hasan Hanafi menekankan pentingnya pendekatan tematis dalam menafsirkan al-Qur’an. Lihat Hassan Hanafi, “Method of Thematic Interpretation of the Qur’an,” dalam The Qu’ran as Text, ed. Stefan Wild (Leiden: E. J. Brill, 1996), 195-21.

Tokoh liberal lain yang terkenal mengadopsi hermeneutika adalah Nasr Hamid Abu  Zayd.  Kisah dan kasusnya dibahas oleh Stefan Wild, “Die andere Seite des Textes: Nasr Hamid Abu Zaid und der Koran” dalam jurnal die Welt des Islam, no.33 (1993), hlm. 256-261; Navid Kermani, “Die Affaere Abu Zayd: Eine Kritik an religioesen Diskurs und  ihre Folgen” dalam jurnal Orient,  no.35 (1994),  hlm. 25-49, dan Charles Hirschkind, “Heresy or Hermeneutics: The Case of Nasr Hamid Abu Zayd” dalam American Journal of Islamic Social Sciences (AJISS) vol.12, no.4 (1995).

Mantan  dosen  sastra  Arab  di  Universitas  Kairo  ini  mengakui  idenya  itu muncul setelah belajar di Amerika. Di sanalah ia mengenal dan mempelajari filsafat dan hermeneutika. Baginya, hermeneutika adalah ilmu baru yang telah membuka matanya: “My academic experience in the [United] States turned out to be quite fruitful. I did a lot of

reading on my own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science of interpreting texts, opened up a brand-new world for me” . Lihat Voice of an Exile: Reflections on Islam (Westport, Connecticut/London: Praeger, 2004), hlm.95.

Seperti anak kecil yang baru dapat pistol mainan, ia segera mencari sasaran tembak di sekitarnya. Kalau pisau hermeneutika bisa dipakai untuk membedah Bibel, mengapa tidak kita gunakan untuk mengupas al-Qur’an? Toh keduanya sama, sama-sama kitab suci. Demikian logika Abu Zayd.

Para sarjana Barat (yang nota bene Yahudi maupun Kristen) memang sejak lama telah menerapkan metode-metode kritis dalam mengkaji Bibel, seperti metode textual criticism, source criticism, form criticism, dan sebagainya. Kenapa tidak kita terapkan dalam  mengkaji  al-Qur’an?,  pikir  Abu  Zayd.  Sebagaimana  Bibel,  al-Qur’an  kan  juga produk budaya setempat yang tidak terlepas dari konteks  masyarakat,  sejarah  dan  zaman dimana ia lahir dan berkembang. Di situ tentu ada campur-tangan  manusia. Berkata Abu Zayd: “Classical Islamic thought believes the Qur’an existed before it was revealed. I argue that the Qur’an is a cultural product that takes its shape from a particular

time in history. The historicity of the Qur’an implies that the text is human. Because the text is grounded in history, I can interpret and understand that text. We should not be afraid to apply all the tools at our disposal in order to get at the meaning of the text” (hlm. 99).

Dengan menganggap al-Qur’an sama dengan Bibel (OT dan NT), Abu Zayd lantas

menurunkan status al-Qur’an sebagai Kalamullah. Baginya, al-Qur’an hanyalah sebuah teks, tidak lebih dari itu. Statusnya, menurut Abu Zayd, sama dengan buku-buku lainnya, yang dikarang oleh manusia, terbentuk dalam konteks budaya dan sejarah, dan sebagai wacana, tidak memiliki makna yang tetap dan baku: “The divine text became a human text at the moment it was revealed to Muhammad. How else could human beings understand it? Once it is in human form, a text becomes governed by the principles of mutability or change. The text becomes a book like any other. Religious texts are essentially linguistic texts. They belong to a specific culture and are produced within that historical setting. The Qur’an is a historical discourse—it has no fixed, intrinsic meaning” (hlm.97).

Pendapat-pendapatnya mengenai hermeneutika, tekstualitas dan historisitas al-Qur’an ini  diakuinya  adalah  ‘oleh-oleh’  hasil  mukimnya  di  Amerika:  “I  owe  much  of  my understanding of hermeneutics to opportunities offered me during my brief sojourn in the United States” (hlm. 101).

Di Indonesia sendiri hermeneutika ramai dibicarakan dan telah diusulkan menjadi metode alternatif meski tetap memicu pro-kontra. Penolakan terhadap hermeneutika ditunjukkan antara lain oleh Hamid Fahmi Zarkasyi, “Menguak Nilai Dibalik Hermeneutika,” dalam  jurnal  Islamia,  Tahun  1,  No  1  Muharram 1425/Maret  2004;  Ugi Suharto, “Apakah Al-Qur’an Memerlukan Hermeneutika,” Islamia, Tahun 1, No 1 Muharram 1425/Maret 2004. Adnin Armas, “Tafsir Al-Qur’an atau Hermeneutika Al-Qur’an”, Islamia, Tahun 1, No 1 Muharram 1425/Maret 2004; Muchib Aman Aly, “Apakah Al-Qur’an Memerlukan Hermeneutika,” Aula, No 1, tahun XVII, Januari 2005; dan Fahmi Salim, Kritik Studi Al-Qur’an Kaum Liberal (Jakarta: Gema Insani Press, 2010).

Sejumlah dosen perguruan  tinggi Islam negeri maupun swasta berlomba-lomba menulis makalah dan buku-buku untuk menjustifikasi dan mempromosikannya,  Lihat misalnya: Yusuf Rahman, “The Hermeneutical Theory of Nasir Hamid Abu Zayd: An Analytical Study of His Method of Interpretation” (PhD Dissertation McGill Univ. 2001); Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Alquran Menurut Hasan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002); Moch Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd (Jakarta: Teraju, 2003); Zainal Abidin, “Ketika Hermeneutika Menggantikan Tafsir Al-Qur’an,” dalam harian Republika, edisi 24 Juni 2004; Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Nawasea Press, 2009); Hasan Hanafi, Hermeneutika Al-Qur’an, terj. Hamdiah Latif (Yogyakarta: Nawesea Press, 2009).

Sementara sebagian yang lain masih ‘mikir- mikir’ demi menimbang konsekuensi untung-rugi dan baik-buruknya jika hermeneutika dipakai untuk menafsirkan al-Qur’an. Ada yang berpendapat hermeneutika tidak bisa dijadikan sebagai metode baru untuk menggantikan metode tafsir yang telah ada, akan tetapi dapat menjadi mitra tafsir untuk memperkaya wawasan  penafsiran. Nasaruddin Umar, “Menimbang Hermeneutika sebagai Manhaj Tafsir”, dalam Jurnal Studi al-Qur’an, vol. I, no. Jan. 2006.

Ada  pula yang melihat hermeneutika masih memiliki keterbatasan dalam memahami teks jika dibandingkan dengan ilmu tafsir yang metodenya telah  disusun  dengan  sangat  rinci oleh para ulama klasik. Nasruddin Baidan, “Tinjauan Kritis terhadap Konsep Hermeneutiks,” dalam jurnal Esensia, vol. 2, no. 2, 2001.

Adapun menurut Quraish Shihab hermeneutika perlu diurai dahulu satu persatu untuk diteliti bagian-bagian manakah darinya yang sejalan dengan metode tafsir para ulama dan bagian-bagian manakah yang tidak sesuai dan bahkan bercanggah dengan prinsip-prinsip agama. Ach. Maimun, “Resistensi terhadap Hermeneutika dalam Kajian al-Qur’an di Indonesia: Pemetaan Varian dan Kepentingan”, dalam jurnal Suhuf, Vol. 8, No. 2, Juni 2015, hlm. 256.

Sebagai penutup, izinkan saya mengutip Josef van Ess, profesor emeritus dan pakar sejarah teologi Islam dari Universitas Tübingen, Jerman:

We should, however, be aware of the fact that German hermeneutics was not made for Islamic studies as such. It was originally a product of Protestant theology. Schleiermacher applied it to the Bible. Later on, Heidegger and his pupil Gadamer were deeply imbued with German

literature and antiquity. When such people say “text” they mean a literary artifact, something aesthetically appealing, normally an ancient text which exists only in one version, say a tragedy by Sophocles, Plato’s dialogues, a poem by Hölderlin. This is not necessarily so in Islamic studies.” Lihat Irene A. Bierman (ed.), Text & Context in Islamic Societies (Reading, UK: Ithaca Press, 2004), hlm. 7.

Maksudnya, perlu diketahui bahwa hermeneutika yang berasal dari Jerman itu sebenarnya memang bukan ditujukan untuk kajian-kajian keislaman. Pada asalnya ia merupakan produk teologi Protestan. Awalnya dipakai untuk untuk mengkaji Bibel oleh Schleiermacher, lalu dikembangkan kemudian oleh Heidegger dan Gadamer dalam kajian kesusasteraan Jerman maupun klasik. Yang mereka maksud dengan istilah ‘teks’ ialah karya tulis buatan manusia, sesuatu yang indah lagi menarik, biasanya  sebuah naskah kuno yang hanya terdapat dalam satu versi, seperti kisah tragedi karangan Sophocles, dialog-dialog karya Plato, atau pun puisi yang ditulis Hölderlin. Ini jelas tidak sama dengan konsep teks dalam kajian Islam.

Josef van Ess benar belaka. Sebagai ‘anak kandung’ tradisi intelektual Barat hasil perkawinannya dengan teologi Kristen, hermeneutika memang tidak sesuai untuk diterapkan dalam studi Islam. Kita katakan ‘tidak sesuai’, bukan ‘tidak bisa’ atau ‘tidak mungkin’,   karena   perkara   ini   lebih   menyangkut   dampak   dan   hasil,   ketimbang hukumnya. Hermeneutika hanya akan membuahkan kebingungan dan keragu-raguan. Betapa tidak, sedangkan ia bertolak dari skeptisisme dan relativisme, menghendaki ketidakpastian makna dan penafsiran, merayakan konflik dan kontradiksi. Karena itu, bagi umat Islam yang memahami al-Qur’an, hermeneutika lebih merupakan musibah ketimbang hikmah. Saudara-saudara kita yang ingin mengambil hermeneutika sebagai metode tafsir baru tak ubahnya seperti istri Aladdin yang tergiur menukar lampu lama dengan lampu baru milik si tukang sihir. Wallahu a‘lam.

error: Content is protected !!